TEMPO.CO, Jakarta - Para pengelola pusat belanja kembali gigit jari. Harapan mereka yang semula sudah sumringah bahwa usahanya bisa kembali beroperasi normal per hari ini ternyata pupus karena pemerintah memutuskan memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat).
Keputusan pemerintah memperpanjang PPKM Darurat Jawa-Bali hingga Ahad pekan depan, 25 Juli 2021, memaksa pusat belanja kembali tak beroperasi. Sektor ini diminta tutup selama masa pembatasan, kecuali untuk tenant-tenant yang menjual kebutuhan esensial seperti bahan-bahan pokok, makanan minuman, hingga obat-obatan.
"Kami akan sepenuhnya mendukung keputusan pemerintah, tapi kami berharap pemerintah bisa membantu karena kondisinya cukup berat," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia alias APPBI Alphonzus Widjaja dalam konferensi pers, Rabu, 21 Juli 2021.
Ia menyebutkan tiap pusat perbelanjaan berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp 5 triliun per bulan. Tak sedikit nominal pengeluaran tetap yang mesti ditanggung pengelola mal, mulai dari biaya listrik PLN yang dikenakan tarif minimum, biaya gas PGN, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Reklame, hingga retribusi lainnya yang bersifat tetap
Awalnya, PPKM Darurat dijadwalkan berakhir pada Selasa 20 Juli 2021. Namun pada konferensi pers Selasa malam, 20 Juli 2021, Presiden Jokowi menyatakan pemerintah memutuskan untuk memperpanjang PPKM Darurat setelah mengevaluasi pelaksanaannya sejak 3 Juli 2021 lalu.
Pemerintah berencana mulai melonggarkan bertahap pembatasan itu mulai Senin, 26 Juli 2021 jika jika indikator rata-rata penambahan kasus positif Covid-19 harian menunjukkan perbaikan.
Hingga bulan ketujuh tahun ini, menurut Alphonzus, kondisi keuangan perusahaan pengelola pusat belanja sudah sangat memprihatinkan. Sebagai gambaran, tahun 2020 lalu, pengelola mal meski sudah tertekan tapi masih bisa bertahan karena ada dana cadangan.
Tapi tahun ini, dana cadangan sudah habis terkuras karena situasi belum juga kembali normal. Hal senada disampaikan oleh Pengurus Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Yuno Abeta Lahay. Ia menyebutkan, dana perusahaan terkuras untuk memenuhi kewajiban pembayaran tunjangan hari raya atau THR bagi para karyawan. "Tabungan kami juga sudah habis untuk memenuhi tanggung jawab kami itu tadi."
Persoalan serupa dirasakan oleh para pengusaha retail. Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah larangan gerai offline beroperasi sangat memberatkan para pelaku retail. Padahal, sektor ini selama ini kerap menyumbang besar kepada perekonomian Tanah Air.
"Kami memang menghadapi yang namanya sebagi offline tidak boleh buka. Itu adalah satu hal berat dan sudah terjadi dalam dua tahun," ujar Budihardjo.